101 Puisi Dibedah di Teras Cafe Mamuju.

MAMUJU-  Puluhan pelaku seni dan budaya mengikuti kegiatan bedah buku Vova sanggayu, di Teras cafe Mamuju, Jumat 9 Desember 2021.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk membedah setiap makna 101 Puisi Etnografis dalam buku Vova sanggayu karya penulis Bustan Basir Maras.

kegiatan ini juga merupakan acara yang kesekian kalinya dilaksanakan Penulis di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Makassar, Sulsel, di kota Palu Sulteng, dan kali ini dilaksanakan di kota Mamuju Provinsi Sulbar.

Dalam acara ini, penulis dipanel dengan 2 pembicara yang juga pelaku kebudayaan di mamuju diantaranya Jasman Rantedoda selalu founder Rumah baca Lentera manakarra serta Heri Kuswandi dari komunitas Serang Creatif.

Selain itu juga, tampak hadir dalam acara ini salah satu staff Diknasbud provinsi Sulbar, Aryandi Budiman, bersama tim Korumta, serta beberapa mahasiswa dari berbagai kampus di sulbar.

Jasman yang juga dikenal sebagai Jurnalis pada harian Radar Sulbar, tampak di dampingi sejumlah penulis dan pecinta puisi dimamuju, diantaranya Safri dan Adhi Riadi.

Sejumlah komunitas dan lembaga yang turut meramaikan acara ini antara lain, Komunitas Rumah kita ( korumta ), komunitas Literasi teras cafe Mamuju, dan lentera manakarra.

Bagi penulis, Buku Vova Sanggayu tersebut tercipta secara mengalir tanpa dipengaruhi oleh kekuatan berpikir. Sebab dirinya menganggap bahwa menulis itu bisa datang dan lahir dengan tiba tiba ketika ada keinginan untuk menulis.

Kalau ingin menulis, yaa menulis saja, karena setiap karya itu punya makna dan diksi tersendiri. Itulah yang menginspirasi saya dalam menulis 101 buku Vovasanggayu.”Ucapnya.

Kata Vova Sanggayu dalam buku puisi ini berasal dari bahasa To Kaili, yang artinya “sepohon Kayu bakau”. Vova artinya kayu bakau, dan SANGGAYU artinya sepohon.

Menurut penulis, Bahasa Kaili pada judul buku Vova sanggayu ini sedikit memberikan gambaran bahwa Kabupaten Pasangkayu lahir dari dua rumpun kekuatan besar pada masa silam.”ungkapnya di sela acara.

Acara inti di awali dengan sebuah pengantar musikalisasi puisi dari Korumta, dilanjutkan dengan acara inti bedah buku Vova Sanggayu.

Heri, selalu moderator, membuka acara ini, mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh peserta yang hadir, lembaga dan komunitas, karena dinilai mampu berkolaborasi menghidupkan seni dan Literasi budaya di sulbar, khususnya di Mamuju.

Dalam pemaparannya, Bustan selaku penulis menyampaikan bahwa buku Vova sanggayu tersebut dicetak pada bulan Agustus 2020 dengan jumlah 128 halaman. Buku ini juga merupakan kumpulan puisi lama pada cetakan buku sebelumnya.

Kenapa cuma 101 judul saja, tidak lebih atau kurang. Bustan mengakui bahwa kemampuan nya menulis puisi hanya sampai pada angka itu.
Artinya bahwa buku puisi ini tercipta dengan menemukan takdirnya sendiri. Ucapnya.

saya cuma tulis naskahnya dan kumpulkan, lalu saya serahkan ke percetakan. Sisanya itu, dikerjakan oleh pihak percetakan. kata Bustan sambil menikmati segelas kopi ala caffe.

Interlud selaku Penerbit buku puisi, mengaku bahwa karya karya puisi memang telah banyak memiliki kesamaaan. Akan Tetapi, diksi Vova sanggayu ini hanya ditemukan 1 dunia, yakni di Sulbar.

Menurut penulis, Puisi Etnografis memiliki makna sekumpulan puisi yang mengangkat cerita Folklore, atau dongeng, yang bersumber dari cerita mitos atau mistik. Itulah etnografis dari kata etnos yang artinya etnis, seperti dalam judul 101 puisi Vova Sanggayu.

Menulis puisi Etnografis itu tidak mudah, karena saya pribadi dalam menulis diksi itu hanya mengalir begitu saja.

Mungkin sebagian penulis, menganggap bahwa menulis diksi itu adalah hal yang sangat penting untuk menulis, tetapi saya pribadi menilai bahwa diksi itu lahir dengan tiba tiba, mengalir dan tanpa berpikir, seperti halnya pada waktu saya melahirkan buku antara Jawa dan mandar.”ungkap Bustan dihadapan peserta.

Soal gambar pada sampul buku itu, pihak penerbit semua yang design dan bisa memaknai dari diksi itu.

Adapun gambar orang disampul itu, sesungguhnya mengandung banyak makna tertentu. Salah satunya terdapat gambar orang berwajah nyamuk.

Bagi penerbit, konon gambar tersebut di analogikan sebagai hal mistik dari bumi Pasangkayu dari sejak dahulu sampai sekarang. sebagai mana cerita orang tentang mistisme di Tanjung Pasangkayu.

Jasman Rantedoda, dalam tanggapannya, menilai bahwa 101 puisi Etnografis ini, sangat menarik untuk dibahas karena ada banyak diksi butuh pemaknaan tersendiri dari pembaca dan juga penulis.

Dirinya melihat bahwa buku Vova sanggayu ini secara umum bercerita tentang alam raya, etnis, budaya, dan mistisme. Sehingga asyik untuk dibedah dari tiap judulnya.

Menurut Jasman, ketika sebuah karya telah lahir ke pembaca,ibaratnya anak nurani yang dilahirkan dengan sendiri sendiri.”Ucapnya.

Membaca buku apa pun itu, pasti tidak akan sama pemahaman penulis dan pembaca itu sendiri, apalagi dalam soal pemaknaan diksi, karena pembaca itu biasanya hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan atau harapan pembacanya. Ucap jasman.

Memasuki sesi dialog, para peserta lebih banyak menanyakan soal pemaknaan diksi dalam beberapa puisi Vova sanggayu.

Safri, seorang penulis puisi dari Mamuju tampak menanyakan alasan penulis yang sering menggunakan kata Rindu dan dendam dalam beberapa puisi yang dia baca, seperti dalam sebuah judul puisi “antara Jawa dan mandar.”

Bagi penulis, kata rindu & dendam, itu dimaknai sama, yang membedakan itu adalah cara expresi nya kita dalam memaknai setiap kata. Itulah lisensi puisi. Sehingga Menulis itu tidak mudah, karena ada unsur makrokosmos dan mikrokosmos yang harus kita perhatikan.

Dari acara ini, sejumlah judul puisi berhasil dibedah dari 101 judul Vova sanggayu, antara lain berjudul, tanjung Ngalo, Merapi, indo, serta antara Jawa dan mandar.

Cerita mistis soal tanjung Pasangkayu,, suku to bunggu dari gunung Pinembani,, hingga kisah Sawerigading tak luput di bedah dalam buku vova sanggayu. sehingga Wajar jika banyak mendapat apresiasi peserta bedah buku tersebut.

Acara ini, ditutup dengan pembacaan puisi penulis. Beberapa judul puisi yang dibacakan, di antaranya berjudul, Merapi dan berjudul “Kepada ifa”.

Safri membacakan puisi yang berjudul Merapi, untuk mengenang peristiwa erupsi Semeru di Lumajang Jawa timur.
Sedangkan Penulis sendiri memilih membacakan puisi terbarunya berjudul kepada Ifa Istriku.

Kegiatan ini ditutup dengan Sebuah persembahan lagu dari Korumta berjudul *Menyayangimu#, hasil karya penulis puisi Bustan Basir Maras.

Kegiatan bedah buku kali ini cukup menarik perhatian peserta, karena kegiatan tersebut, dibalut dalam suasana santai dan menyenangkan. mereka yang hadir memberikan apresiasi, khususnya dari berbagai pelaku seni budaya, lembaga, maupun komunitas pemuda yang ada di kota dan di daerah.

Kegiatan bedah buku ini, akan kembali di langsungkan dibeberapa daerah. Diantaranya di kota Makassar, jokyakarta, dan NTB.**(MS03/C)

Penulis Budi Bento

Editor Aco Antara

Produksi by media Sulbar

Rekomendasi Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button