AGH. Abd. Muin Yusuf; Ulama Bugis, Pelayan Ummat, Penikmat Ikan Kaleng
Haul ke 17 AGH. Abd. Muin Yusuf, 23 Juni 2004-23 Juni 2021.
Oleh; Abdul Karim
Sekretaris Umum PW. Lakpesdam NU Sulsel
Pada awal 1990 an silam, saya melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren populer, Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa (PPUW) Benteng, Sidrap. Di negeri subur padi itu, saya kemudian menyandang “santri”.
Disitulah awal mula, saya mengenal sosok AGH. Abd. Muin Yusuf–pemilik pesantren ini, yang juga seorang ulama kharismatik Sulawesi Selatan.
AGH. Abd. Muin Yusuf yang populer disapa Kali Sidenreng, lahir di Rappang, 21 Mei 1920 dari pasangan Muhammad Yusuf asal Pammana Wajo dan Ibunya bernama Hatijah asal Rappang. Gurutta Kali Sidenreng adalah anak ketiga dari 10 bersaudara, dan memiliki 9 orang anak.
Ketika memasuki usia 7 tahun Gurutta mulai belajar mengaji kepada salah seorang guru mengaji kampung (Kyai Kampung), bernama H. Patang. Kemudian masuk lagi sekolah umum di Insladsche School (sekolah pagi). Ketika sore, ia belajar agama di sekolah Ainur Rafieq.
Lahir dari keluarga agamawan, bangsawan dan pedagang membuatnya terus dimotovasi untuk belajar ilmu agama oleh keluarga dekatnya. Sebab secara finansial, kedua orang tua Gurutta cukup mapan. Karenanya, ia terus didorong untuk memperdalam ilmu agama.
Salah seorang yang berperan penting memotivasi Gurutta adalah, Puang Ngakka, sang nenek dari jalur ibu. Puang Ngakka sejak lama melihat tanda-tanda bila kemanakannya akan menjadi “panrita”. Karena itu, Puang Ngakka rela menjual tanahnya untuk membiayai pendidikan Gurutta di Makkah kelak.
Begitupula dengan sang paman, yang juga seorang ulama termashur, yakni Syeikh Ali Mathar (kakek, Prof. Dr. Quraish Syihab). Syeikh Ali Mathar melihat pula tanda-tanda bila kemanakannya kelak akan menjadi ulama besar. Keyakinan sang paman kian bertambah saat ia kedatangan kolega dari Madinah yang bernama Syeikh Abdul Jawad. Kepada Syekh Ali Mathar, Syeikh Abdul Jawad berpesan agar kemanakannya (Gurutta) dijaga dengan baik lantaran ia melihat adanya tanda-tanda pada diri Gurutta kelak akan menjadi seorang ulama besar di kemudian hari.
Pulang berhaji dan menuntut ilmu di Makkah, Gurutta kemudian belajar secara informal kepada seorang ulama tasawuf, Syeikh Ahmad Jamaluddin yang lebih dikenal sebagai Syeikh Jamal Padaelo. Dari sinilah Gurutta semakin mendalami ilmu ma’rifat. Gurutta kemudian kelak yang menggantikan Syeikh Jamal Padaelo menjadi Kadhi di Wilayah Sidenreng Rappang. Dan kelak pula, Gurutta mempersunting puteri Syeikh Jamal Padaelo yakni, Hj. Baderiah Binti Syeikh Ahmad Jamaluddin.
Ditahun 1934, Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya di Sengkang pada dibawah bimbingan Almukarram AGH. Muhammad As’ad al Bugis. Disana, Gurutta berjumpa dengan sejumlah santri yang kelak menjadi ulama besar pula, sebutlah diantaranya; AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle, AGH. Junaid Sulaiman, AGH. Daud Ismail, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. M. Yunus Maratang, dll.
Perjalanan dinamika intelektual Gurutta yang cukup panjang itu membuatnya dikenal sebagai “Kali Sidenreng” (Qadi). Sebab keluasan dan kedalaman ilmu agamanya sungguh tak diragukan. Ia adalah pakar fiqhi dan tafsir sehingga diberi gelar “Kali” (Qadhi – Arab). Tak salah bila ia termasuk salah satu anggota Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kini dipakai Hukum Acara di seluruh Pengadilan Agama se-Indonesia itu.
Pada awal 1974 Gurutta membangun PPUW di kampung (sekarang kelurahan) Benteng, kecamatan Baranti, kabupaten Sidrap. Pondok itu ia bangun bersama warga sekitar.
Di dalam pondok seluas kurang lebih 8 Ha itu ia hidup bersama santri-santrinya. Rumahnya yg sempit dan sederhana hanya berisi kitab-kitab berbahasa Arab, tak ada pajangan dinding kecuali jam dinding. Bahkan, dinding kamar beliau memanfaatkan lemari kitab miliknya. Dan di rumah segi empat sempit itu, kadang pula menjadi kelas belajar khusus bagi santri-santri tertentu. Usai solat subub, mereka dijamu Gurutta di rumah yang menyerupai kamar.
Tetapi, ulama sederhana ini memiliki ilmu yang tak sederhana. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan sungguh luar biasa. Wajar bila dalam kesehariannya ditangan Gurutta senantiasa terpegang kitab atau surat kabar. Beberapa buku dan kitab karya beliau, diantaranya: Al Khotbah Al-Mimbariyah (1944), Fiqih Muqaran (1953), dan Tafsera Akorang Ma’basa Ogi (1966) yang terakhir ini dilanjutkan setelah ia menjabat ketua umum MUI Sulsel selama dua periode.
Kedalaman ilmu agama Gurutta terfaktakan saat menjadi Ketua umum MUI Sulsel. Gurutta membuat beberapa terobosan, salah satunya adalah memprakarsai penulisan dan penerbitan Tafsir Alquran berbahasa Bugis, yang dibahas dengan kolega-koleganya, Pengurus Inti MUI Provinsi Sulawesi Selatan di antaranya AGH. M. Sanusi Baco, AGH. Dr. Faried Wajedy, MA., Drs. H. Tahir Syarkawi, Prof. Dr. H. Abdul Rahim Arsyad, MA., Prof. Dr. Andi Syamsul Bahri Galigo, MA. Dkk.
Dan yang luar biasa dari Gurutta adalah kemampuannya mendialogkan ilmu pengetahuan agamanya yang berbasis bahasa Arab (kitab kuning) ditengah masyarakat bawah dengan pola penyampaian khas Bugis. Melalui ceramah agama ditengah masyarakat berbahasa Bugis itulah, literasi agama masyarakat dibangun.
Penyampaian ceramah agama yang lugas, segar, humoris, dengan gaya bahasa Bugis Sidenreng yang kental memukau jamaah. Warga di lapis bawah merasa senang dengan kehadiran ulama penggemar ikan kaleng itu.
Selain itu, Gurutta sangat dikenal sebagai sosok ulama yang melayani warga dengan konsisten. Bila diundang ceramah oleh warga di wilayah pedesaanpun ia akan hadir. Padahal, level keulamaan beliau sudah sangat tinggi menjulang, namun masih rela turun ke bawah ditengah-tengah ummat kebanyakan.
Dan yang luar biasa, disetiap Jumat ia lebih banyak mendengar khutbah pegawai syara’ di desa dimana pondok pesantren miliknya hadir. Kebetulan masjid dikampung itu, berhadapan dengan Pondok pesantren milik Gurutta. Ia menjadi jamaah disana, ia pun berdiri sebagai makmun di masjid itu. Padahal, keluasan dan kedalaman ilmu agamanya tak tertandingi lagi.
Selama enam tahun mondok disana, kelihatan dengan jelas bagaimana Gurutta membangun relasi dengan elit-elit politik pemerintahan di sana. Hampir setiap jelang pergantian kepala daerah, mereka yang hendak maju sebagai calon bupati datang menemui Gurutta dan sebagai ulama ummat, Gurutta menerima mereka di kediamannya. Begitupun saat jelang pemilu, sejumlah politisi datang meminta berkah. Semuanya dilayani secara normatif.
Tetapi Gurutta tak pernah mau menjadi bagian dari kekuasaan, dan ia tak mau menghamba pada kekuasaan. Ia tak pernah menundukkan kepalanya didepn kekuasaan. Karena itulah, ia tak pernah meminta khusus sumbangan pada pemerintah untuk pondok pesantrennya. Namun bila sumbangan itu datang, Gurutta tak menolaknya–sebagai rejeki. Prinsipnya; tangan dibawah lebih mulia dari tangan diatas.
Pada tahun 1996 silam, dengan ucapan Alhamdulillah saya berkesempatan berdomisili di rumah pribadi Gurutta, di kota Makassar–saat saya kuliah di IAIN Alauddin, makassar. Peran saya di rumah itu kira-kira tak lebih dari penjaga rumah. Seingatan saya, Gurutta tak hanya sekali sebulan atau sekali dua pekan (tergantung keperluan) datang ke Makassar dan menginap di rumah itu. Tetapi bila beliau datang, sungguh sebuah kebahagiaan bagi saya–penjaga rumah itu.
Dalam sebuah kesempatan, usai Gurutta makan malam–saya duduk berbincang ringan dengan istri Gurutta, Hj. Andi Badariah (Pung Bade’) di pintu dapur. “Santri yang pernah tinggal di rumah saya semuanya jadi orang sukses. Tetapi kalau kamu–saya tak tahu apakah kamu sukses atau tidak kelak”, katanya sambil tertawa ringan.
Mendengar kalimat itu, buru-buru saya memohon padanya untuk mendoakanku agar sukses pula kelak. Ia tertawa melihatku yang sedikit tegang. Kedua tangannya kupegang sambil memohon doa dan berkah dari beliau.
Tak lama setelah itu, Gurutta keluar dari kamarnya lalu saya pun pamit didepan Pung Bade’, beranjak ke kamar samping dekat sumur, merebahkan badanku dengan mata menatap ke palpon.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber.
Alfatihah untuk AGH. Abd. Muin Yusuf dan Hj. A. Baderiah Binti Syeikh Ahmad Jamaluddin (Puang Bade’)