Bustan Basir Maras “Budaya Tanpa Agama Itu “Sesat”, Agama Tanpa Budaya, “Radikal”
Oleh:Budi Basir Maras.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sulaweis Barat melaksanakan Rapat Koordinasi dengan Tim Kewaspadaan Dini Daerah ( TKDD )dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat ( FKDM ) provinsi Sulawesi Barat.
Kegiatan ini Bertemakan Optimalisasi Peran TKDD dan FKDM dalam melakukan cegah dini atau deteksi dini, terhadap potensi ancaman, tantangan serta hambatan dan gangguan di daerah.
Bustan Basir Maras selaku pemateri menyampaikan bahwa ketahanan nasional atau ketahanan bangsa kita sekerang ini, seharusnya ditopang oleh dua hal mendasar yaitu penguatan kebudayaan dan penguatan agama. Jika kedua hal ini sudah menyatu, maka selamatlah bangsa ini.
Untuk meramu nasionalisme itu, kayu bakarnya adalah dua hal tersebut. Kalau keduanya itu sudah menyatu, Insya Allah ketahanan bangsa ini bisa dipertahankan dalam konteks persatuan nasional, Karena sekarang ini ada banyak tafsir tafsir agama yang melecehkan kearifan lokal masyarakat yang tidak bertentangan langsung secara syariat dengan kehidupan beragama di masyarakat.
Yang lebih lucu lagi adalah jika kebudayaan juga kemudian tidak memiliki kecenderungan transendensi, atau ( keketuhanan ) maka agama itu akan ditafsir secara radikal tanpa pertimbangan masyarakat.
Padahal dimasa lalu, para pendahulu kita atau ulama ulama Nusantara itu sangat mengakomodir berbagai kepentingan kearifan lokal kedalam kehidupan sehari hari masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, intinya itu, khususnya agama secara umum.
Bicara dalam konteks Provinsi Sulbar, itu kita tidak perlu lagi mencari teori baru, atau apapun soal bagaimana pertahanan nasional atau pertahanan kewaspadaan dini masyarakat kita, karena masyarakat Sulbar ini adalah masyarakat berbudaya karena di abad ke 16 orag tua kita sudah memilki yang namanya perjanjian Tammajarra 1 dan II. Dalam perjanjian Tammajarra I dan II disebut dengan Assitalliang atau Sipamandar. Didalam Sipamandar itu orang tua kita bertekad untuk saling melindungi dan saling menyayangi, dan untuk mempertahankan tanah Mandar.
Jadi sebenarnya kita tidak perlu terlalu mencari teori-teori baru karena sesungguhnya nenek moyang kita sudah membuktikan bahwa Sulbar ini, atau tanah Mandar ini telah memiliki kekuatan yang luar biasa dalam pertahanan kulturalnya. Salah satu contoh misal didalam perjanjian Allamungan Batu di Luyo atau Sipamandar itu jelas dikatakan bahwa “Namemmatami di Sawa, Toriaya di Ulu Salu. Namemmatami di Mangiwang Toriong Dibaba Binanga”, artinya darat dan lautan itu memiliki keseimbangan dan saling melindungi.
Hal yang sangat membanggakan dari Mandar atau Sulbar ini bahwa di abad ke 16, Nenek Moyang kita ini sudah menemukan konsep tentang keseimbangan darat dan lautan. Itu yang harus dikampanyekan.
Menurutnya, sepanjang pengalaman, nya berjalan ke berbagai daerah di nusantara , Indonesia sampai ke negara negara tetangga, dirinya blm pernah menemukan ad satu konsep, yg besar sebagaimana yg dibangun oleh para tetuah kita di tanah mandar pada abad ke 16.
Dirinya menyarankan agar seluruh stakeholder terkait, baik di provinsi maupun kabupaten.Yang berjejaring dengan Kesbangpol dalam hal ini untuk mempertahankan ketahanan kesatuan bangsa atau ketahanan kewaspadaan dini itu memang harus sering berkumpul bersama sama untuk membahas secara evaluatif atau melakukan evaluasi terhadap bagaimana perkembangan2 persatuan di daerah yg dibangun antar suku bangsa, antar agama, ini penting untuk ketahanan nasional kita.**