Budayawan Ridwan Alimuddin: Logo Kabupaten Majene Diperjelas Saja Bukan Dirubah

Majene, – Wacana perubahan logo kabupaten Majene saat ini telah hangat diperbincangkan. Perihal wacana itu, budayawan Mandar Ridwan Alimuddin angkat bicara. Menurutnya, perubahan logo kabupaten Majene tidak perlu, justru ia menyarankan agar Pemda Majene memperjelas logo Majene yang sekarang karena ada beberapa versi beda warna.

“Buat apa diubah? Kalau sekedar perubahan tafsir atau menggunakan benda lain sebagai pengganti, ya kan tidak terlalu perlu. Yang baiknya dilakukan oleh Pemkab Majene dengan meminta seniman untuk memperhalus logonya, mempatenkan kode warna agar ada standar. Sekarang kan tidak jelas mana logo yang betulannya, sebab ada beberapa versi yang beda warna. Kan ada SK pembuatan logo lama, di situ saja standar ukuran atau komposisi objek-objek dalam logo, lalu warnanya dipatenkan berdasar kode warna,” ujar Ridwan via WhatsApp, Selasa (15/02/2022).

Ridwan yang juga pegiat literasi itu, mengatakan yang penting dilakukan untuk logo sekarang agar dibuat versi standar, karena itu yang tidak ada.

“Logo sekarang ada beberapa versi, di dalam logo ada gambar gunung warna ungu, warna putih, gunung agak biru, dan kehijauan. Paling parah itu perahunya, tidak ada yang mirip perahu olangmesa,” tulis Ridwan sambil mengirimkan empat versi logo kabupaten Majene.

Terkait dengan wacana perubahan logo, sebenarnya juga telah dibahas pada rapat koordinasi anggota DPRD Sulbar dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majene di awal tahun 2022. Ridwan Alimuddin juga mengaku sudah mendengar informasinya terkait sosialisasi di beberapa kecamatan.

“Saya dengar bahwa sudah ada beberapa sosialisasi-sosialisasi di beberapa kecamatan. Namun, saya tidak tahu proses-proses sebelum itu,” tuturnya.

Hematnya, kalau pun logo sekarang dinilai sudah tidak relevan lagi, kata dia itu masih bisa diperdebatkan. Termasuk beberapa logo baru yang sudah beredar, di dalamnya juga banyak simbol-simbol yang ia pertanyakan relevansinya.

Itu di usulan logo baru, kata Majene berlatar tenunan “lipaq saqbe.” Tanya, tinggal berapa panetteq di Majene? Lalu kapas, ada nggak pembudidaya pohon kapas di Majene? Lalu, perahu olangmesa masih digunakan? Lalu ada garis-garis di latar bersimbol karapas penyu. Apakah alasan karena ada catatan bahwa raja dulu dilantik sambil menginjak penyu? Untuk dibawa ke sekarang, penyu kan hewan langka, hewan dilindungi. Kalau itu filosofinya, kan kesannya tidak baik, karena penyu diinjak oleh penguasa,” beber penulis buku Majene Kota Tua itu.

Alasan perubahan lain, karena tidak adanya kata semboyan di logo Majene lama sehingga harus ditambahkan kata “Assamalewuang”.

Ridwan mengatakan ada juga beberapa kabupaten di Indonesia yang di logo tidak memiliki slogan atau semboyan.

“Tentang “assamalebuang”, banyakji logo kabupaten lain yang tidak ada kata-kata di logonya, jadi bukan hanya Majene, seperti Luwu, Tegal, Kota Sabang, Bulukumba,” pungkasnya.

Menurut Ridwan Alimuddin, dibalik penyusunan logo ada peristiwa sejarah. Para pembuatnya mempertimbangkan hal terbaik. Dalam tradisi di Mandar, penyusun atau pembuat logo mempraktekkan “ussul”. Yakni menggunakan simbol benda tertentu untuk mengambil kebaikan dari benda tersebut, dan tentu ada harapan-harapan yang diinginkan.

“Misal, kenapa menggunakan prisai, kenapa tiga puncak gunung, kenapa daun kelapa, kenap ada laut, dan sebagainya. Lalu jumlah-jumlahnya berdasar peristiwa di masa awal berdirinya Majene. Bahwa ketika baru dibentuk ada empat kecamatan, ada sekian desa dan seterusnya. Jumlahnya sekian adalah keniscayaan, dia peristiwa sejarah. Kalau pun belakangan ada perubahan jumlah kecamatan dan desa, itu hal lain. Sebab akan lucu kalau setiap ada perubahan kecamatan dan desa, masa logo harus diubah lagi,” jelasnya.

Dia menambahkan, tidak ada urgensinya perubahan logo, beda dengan perubahan logo Kabupaten Polewali Mandar (Polman) pada masanya.

“Beda kalau misalnya Majene dibagi dua kabupaten, kalau ada perubahan signifikan atas latar belakang budayanya, misalnya tak ada lagi lautnya, ya bisa. Seperti Polmas, harus diganti logonya karena di logo Polmas ada simbol-simbol Mamasa, yang tidak ada lagi ketika menjadi Polewali Mandar (Polman) dan Mamasa menjadi kabupaten sendiri,” tambahnya.

Terakhir, menurut Ridwan Alimuddin menyatakan pembuatan logo itu sangat subjektif. Semua orang masing-masing bisa memberi tafsiran. Olehnya itu, untuk pembuatan logo harus diupayakan partisipatif untuk meminimalkan subyektivitas.

“Misalnya sayembara, akan ironis kalau sebuah logo kabupaten diubah karena kemauan satu dua orang. Saat ingin dibuat logo pengganti, juga satu dua orang yang kerja yang mungkin tidak melibatkan partisipasif publik. Publik tidak hanya dilibatkan pas disosialisasi, tapi sejak awal, sejak dini,” terangnya. (MS05/C)

Penulis Budi Pratama

Editor Aco Antara

Produksi by media Sulbar.com

Rekomendasi Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button