Jangan Pilih Penguasa, Pilihlah Pemimpin Yang Bijaksana

A.Aco Antara

Oleh Aco Antara

Babak final penentuan peraih mahkota juara pada gelaran pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tinggal menghitung hari. Momentum penentuan  calon pemimpin tertinggi di Bumi Assamallewuang itu ada ditangan rakyat. Jadi, masyarakat Majene mesti lebih cerdas guna menakar rekam jejak calon agar tidak keliru dalam mengambil keputusan pada saat berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada tanggal 9 Desember 2020.

Pesta demokrasi lima tahunan ini digelar serentak di beberapa kota di Indonesia baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota serta pemilihan bupati dan wakil bupati untuk masa bhakti 2021-2025. Rakyat mesti mencari pemimpin yang bijaksana dan bukan mencari penguasa. Maka dari itu, rakyat harus memperhatikan secara seksama, teliti dan mengetahui riwayat rekam jejak dari dua pasangan calon yang saat ini berebut simpati dari 115.091 pemilik suara dari 420 TPS tersebar di delapan kecamatan di Kabupaten Majene.

Rekam jejak calon wajib diketahui sedetail mungkin, sehingga hasil rekomendasi pemenang calon pemimpin itu sudah sesuai yang didambakan rakyat itu sendiri.

Penantian mayoritas masyarakat Majene bisa jadi telah jenuh setelah sekian lama  mereka merasakan ketidakadilan atau sudah terpuaskan dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin itu sendiri sehingga rakyat merasa terkurung dalam lamunan dan hanya bisa terdiam serta menyesali pilihannya.

Tahapan masa kampaanye ini pun telah memasuki pekan ketiga untuk dimanfaatkan bagi kedua pasangan calon untuk bersosialisasi diri hingga masa akhir kampanye pada tanggal 5 Desember 2020. Masyarakat Majene tentu telah mengikuti perkembangan dinamika politik yang terjadi akhir-akhir ini. Masyarakat Majene akan menjaring dua pasaangan calon saja yakni pasangan nomor urut 1, Patmawati-Lukman Nurman dan pasaangan calon nomor urut dua, Andi Achmad Syukri Tammalele-Arismuandar Kalma.

Masih segar dalam benak fikir kita yang baru saja melahirkan wakil rakyat hasil Pemilu tahun 2019 dan telah bekerja kurang lebih dua tahun. Kini, hiruk-pikuk dalam mencari pemimpin ini tentu punya gaya tersendiri agar tampil memikat hati. Hal yang pasti,kedua pasangan calon telah punya cara jitu untuk membungkus usungan mereka secara rapi agar celah atau lubang yang terlanjur mengaga akibat terjerumus dosa masa lalu. Namun demikian, sangat sulit menghindari gosip yang terlanjur menerpa bagi setiap calon pemimpin, jika bau aroma itu sudah sangat menyengat sehingga menjadi cerita bersambung bak sinetron Indosiar yang tayang setiap harinya. Tak bisa dihindari cerita miring, apalagi jika yang menerpa adalah calon pemimpin di suatu daerah. Apalagi di era sekarang ini, informasi media sosial (medsos) begitu cepat diketahui masyarakat luas. Isu yang menerpa calon pejabat publik figur tentu menjadi sarapan pagi oleh masyarakat dan jadi bahan pergunjingan prihal suatu masalah yang akan dibincangkan setiap saat, mulai dari sudut-sudut kota tua hingga merembes ketitik terjauh menuju ruang-ruang disetiap pelosok desa.

Mungkin saja saat ini masyarakat sedang mencari cinta sejati sehingga lahir pemimpin yang mampu memberantas kesengsaraan rakyat. Lahirnya pemimpin berkualitas maupun tidak berkualitas disuatu daerah manapun, tentu tidak terlepas dari peran aktif para politikus yang menyiapkan pemimpin itu sendiri, lalu kemudian keputusan terakhir lahirnya pemimpin itu berada di tangan rakyat. Maka dari itu, rekam jejak calon wajib diketahui agar rakyat tidak ikut serta memberikan kesempatan pada figur pemimpin yang tidak amanah yang pada akhirnya berujung pada kehancuran disuatu negeri. Lantas jika yang terpilih adalah pemimpin yang akhlaknya buruk sehingga negeri ini tertimpah musibah..? maka apakah rakyat dan politisi selaku pemberi mandat juga ikut serta menanggung dosa ini.? Wallahu A’lam Bishawab…!!!

Pasangan nomor urut dua, AST-Aris selaku pasangan calon pemimpin ini tentu punya potensi besar menjadi peraih nominasi pemimpin yang didambakan rakyat karena memenuhi unsur atau yang disyaratkan oleh agama dan budaya Mandar guna melahirkan pemimpin yang mampu bertanggungjawab. Apalagi, rekam jejak serta pengalaman dalam memimpin organisasi menjadi nilai plus dimata publik saat ini. Figur AST-ARIs adalah sosok pemimpin sejati, yaitu pemimpin yang dicintai dan dipercaya luas oleh masyarakat di Bumi Assamallewuang ini. Sosok pemimpin ideal yang diinginkan sebagian besar rakyat adalah pemimpin yang memiliki niat baik untuk kemaslahatan rakyatnya, patuh pada ajaran agamanya, memiliki sifat tegas dan berani, sehingga tersiratnya rasa kecintaan terhadap keadilan, memiliki perilaku menolong dengan tulus bukan semata-mata untuk mengejar popularitas atau pencitraan, dan bisa menjadikan dirinya sebagai teladan salah satunya dengan bersih dari segala bentuk korupsi dan nepotisme.

Hal tersebut sangat perlu diperhatikan dengan tujuan untuk merubah dan memperbaiki citra buruk yang selama ini telah melekat dimasyarakat. Ini merupakan tugas berat bagi para pemimpin yang bakal memikul tanggungjawab besar selama 5 tahun kedepan.

Masyarakat Majene sangat mengharapkan calon pemimpin kedepannya adalah mereka yang memiliki rasa simpati dan mampu memberikan perhatian lebih sehingga masyarakat merasa diayomi seperti halnya harapan anak untuk mendapat kasih sayang orangtua serta harapan suami mendapatkan kasih sayang dari istri.

Sosok seorang pemimpin harus bisa menjadi Modelling,karena sosok pemberi contoh ini merupakan dasar penilaian masyarakat untuk menentukan mana pemimpin yang baik dan sesuai dengan hati rakyat. Niatan untuk mencalonkan diri sebagai calon bupati dan calon wakil bupati seharusnya berawal dari dorongan dan keinginan masyarakat yang telah mempercayai dirinya untuk menjadi perwakilan suara mereka sehingga pemimpin yang diharapkan adalah mereka yang lahir atas kemamuan rakyat.

Perbaikan citra tersebut bukan hanya datang dari para calon pemimpin melainkan dari diri masyarakat sendiri. Masyarakat merupakan kunci utama karena mereka yang memiliki hak suara untuk menetukan siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka dan jangan sampai “serangan fajar” dari para aktor politik yang jauh sebelumnya kerap mempolitisasi uang di pilkada pada kegiatan kampanye terbatas. Potret pendidikan politik ini merupakan indikasi bahwa alam demokrasi kita dalam keadaan kurang membaik. Sejatinya, calon pemimpin itu mutlak menawarkan gagasan disetiap kampanye kampanye agar masyarakat mendapatkan ruang informasi yang besar tentang visi maupun misi dari setiap calon pemimpin ini. Ini harus dihentikan….Tapi memang masih sulit, bahan kampanye politisasi uang rupanya masih ada yang menyambut dengan tangan terbuka “wani piro?” ini menunjukan bahwa masyarakat rela untuk menjual suaranya. Tanpa ia sadarai bahwa praktek jual beli suara di pilkada bisa jadi awal biangya perbuatan korupsi jika benar terpilih dari hasil jual beli suara. Praktek perbuatan korupsi itu terbentuk karena masyarakatnya sendiri yang menerima praktek jual suara. Jika ini terus berlangsung, maka sama saja kita menyaksikan segerombolan serigala yang sedang mencari mangsa yang siap memakan apa saja dan siapa saja.

Gerakan massif oleh para kandidat yang mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik mengerahkan segala daya, dana, dan media kampanye untuk dapat terpilih atau terpilih kembali dalam kontestasi pilkada.

Dalam pemilihan pemimpin melalui mekanisme demokrasi dan pemilihan secara langsung belakangan in, penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) sering kali dipermasalahkan, bahkan dianggap merusak kebinekaan.

Pandangan dan anggapan bahwa pertimbangan keagamaan dalam memilih pemimpin adalah sumber masalah sejatinya menunjukkan dangkalnya pemahaman terhadap fungsi agama dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan warga negara dalam menjalankan dan mengaktualisasikan ajaran agamanya.

Dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karena itu, sikap alergi dan antipati terhadap faktor agama dalam berpolitik tidak seharusnya terjadi di negara kita, apalagi sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Menurut fakta dan realita, setiap menjelang pilkada maupun pileg maka partai politik dan pemimpin yang diusung untuk dipilih selalu mendekati rakyat dan ingin diakui sebagai sosok pemimpin merakyat.

Sebagai ummat beragama tentu menaati ajaran agamanya dan wajib menilai calon pemimpin dalam ukuran agama dan akhlak, termasuk dalam praktik berpolitik dan berdemokrasi. Diakui atau tidak, kepemimpinan yang berakhlak dan begitu pula pentingnya kriteria orang berakhlak yang dipilih menjadi pemimpin tidak bisa dimungkiri merupakan harapan dan dambaan masyarakat.

Pertaruhan nasib dan masa depan agama dan bangsa harus menjadi perhatian dalam memilih pemimpin formal di semua tingkatan. Kemampuan dari segi pengetahuan, penampilan fisik, keturunan, kekayaan, dan popularitas bukanlah jaminan bahwa seseorang akan sukses dan meraih berkah dalam memimpin daerah dan menyelenggarakan pemerintahan, apalagi tanpa mendapatkan hidayah.

Tidak sedikit pemimpin yang semula dipuja dan dipuji, tetapi dalam perjalanannya berakhir dengan tragis karena berbagai permasalahan akibat tidak mampu mengendalikan diri, menangkis godaan hawa nafsu, atau salah memilih teman yang dipercaya.

Dalam kaitan ini, sebagai ikhtiar untuk menjaga kemaslahatan daerah,maka akhlak calon pemimpin haruslah menjadi faktor penentu dalam memberikan dukungan dan memilih seseorang untuk menjadi pemimpin yang memegang kekuasaan.

Islam mengisyaratkan perlunya kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Pengalaman sering kali membuktikan bahwa pemimpin yang mencari kekuasaan, meski dibungkus dengan janji-janji untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kalau semua itu tidak ikhlas dan istiqamah maka kekuasaan yang dipegangnya menjadi sumber petaka, tidak saja bagi sendiri tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan.

Islam menggariskan empat sifat yang minimal harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang berakhlak, yaitu siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah. Siddiq adalah lurus dan bisa dipercaya. Tabligh bermakna kemampuan menyampaikan kebenaran. Amanah ialah bertanggung jawab dalam menjalankan tugas. Fathanah artinya cerdas dalam arti mampu menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar.

Timbulnya kegaduhan, penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan yang menyusahkan rakyat, salah satu penyebab adalah pemimpin miskin akhlak. Boleh jadi pemimpin terlihat dekat dengan rakyat, tetapi ketika membuat kebijakan tidak menyelami perasaan dan aspirasi rakyat menunjukkan akhlaknya hanya sebatas penampilan tetapi tidak berakar dalam karakter diri.

Kedekatan pemimpin dengan rakyat tidak cukup hanya kedekatan formal dan verbal, tetapi lebih penting adalah kedekatan emosional, kedekatan cita-cita dan memahami sejujurnya apa yang menjadi harapan atau kegelisahan rakyat sampai ke lapisan akar rumput. Seorang pemimpin sejati, kata orang bijak, adalah pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya.***

 

Majene, 16-10-2020

Penulis: Aco Antara
Produksi Mediasulbar.com

Rekomendasi Berita

Back to top button