Melongok Potensi Kemenangan Pilkada Majene


Oleh: Najib Accal

Wartawan

Pilkada Kabupaten Majene kini menyisakan beberapa hari untuk sampai pada hari pencoblosan. Akhir-akhir ini santer terdengar keriuhan para netizen (warga net) pendukung masing-masing pasangan calon (paslon) di medsos tentang hasil survey pasca debat pertama. Saling klaim-mengklaim akan keunggulan junjungannya. “Mereka bak anak kecil saling melempar ledekan,” demikian mungkin kalimat tepat melihat fenomena menjelang pemilu itu. Sebab di satu sisi kebanyakan dari mereka pada dasarnya merupakan mantan sekubu pada pilkada-pilkada sebelumnya. Istilah orang tua di Mandar: para ita’ (sesama kita).

Komposisi isu yang berkembang selama ini sedikit banyak seputar politik identitas. Dan sebetulnya pertarungan politik identitas wajar tersaji sebab pertarungan visi misi atau program tak mendapat tempat lagi di hati masyarakat akibat kebohongan yang terus menerus diulang. Masyarakat Majene sendiri pantang sekali akan kebohongan. Amala’biang sudah jadi prinsip dasar kehidupan mereka. Sementara kebohongan – tidak sesuainya kata hati, kata lidah, maupun perilaku – jelas-jelas lawan kata dari mala’bi’.

Kekuasaan itu menyenangkan. Apalagi di zaman modern kekuasaan selalu bergandengan dengan uang. Kekuasaan tanpa uang ialah kosong belaka. Artinya seseorang berkuasa karena punya uang. Apalah arti kekuasaan tanpa adanya uang di tangan.

9 Desember nanti kita akan menyaksikan perlombaan peraihan pengelolaan uang dalam jumlah besar itu. Secara konkret tampak bagai pertarungan meraih kekuasaan. Namun secara samar jelas bahwa ini adalah kontes memperebutkan pengelolaan uang daerah. Di belakang paslon bertengger para kontraktor serta cukong atau kapitalis yang siap menggelontorkan dana untuk memenangkan. Sebagai imbalannya, setelah terpilih nantinya menjadi bupati, mereka pun harus mengabulkan kepentingan orang-orang tersebut. Itulah esensi piikada yang terselubung. Sementara yang tampak di permukaan, seolah rakyat yang memperoleh kemenangan.

Semua sah-sah saja. Karena kekuasaan tidak boleh dibiarkan berlama-lama tanpa pemilik. Tapi ingat, dalam perjalanan untuk meraihnya janganlah abai terhadap etika. Janganlah menghalalkan segala cara. Sebab politik mempunyai tujuan mulia demi merealisasikan kehidupan bersama yang baik, adil, tenteram, sejahtera. Karena itu politik sejatinya tak dapat dipisahkan dari etika. Politik harus terus-menerus dikawal oleh etika.

Apabila kita amati komunikasi politik kedua kubu, khusus untuk momen pendaftaran ini lalu, kedua kubu memang diiringi oleh jumlah massa hampir sama jumlahnya. Di kubu penantang, sepanjang perjalanan ke kpu untuk mendaftar, terus bising akibat sorak sorai massa pengiring maupun massa yang dilewati. Di kubu petahana pun tak kalah bising tapi lebih diakibatkan karena bunyi musik DJ yang dipasang di mobil-mobil massa pengiring.

Kita tentu masih ingat pertarungan pilpres kemarin. Seperti Prabowo yang sering tampil dengan menunggang kuda. Sedang Jokowi tampil mengendarai sepeda onthel. Dalam ilmu politik, hal-hal seperti ini merupakan komunikasi politik dan tidak luput dari kajiannya. Kedua bentuk komunikasi politik yang ditampilkan oleh kedua kubu di atas pastilah masing-masing punya makna tersendiri yang ingin disampaikan. Tapi semua tergantung lagi dari sang penafsir, yakni warga masyarakat majene sendiri.

Ditinjau dari segi koalisi partai, jelas pasangan Patmawati-Lukman berada pada posisi diuntungkan. Mereka pada dasarnya mewakili petahana yang telah lebih dulu menghadap Sang Ilahi, yakni Alm. Fahmi Massiara. Selain itu mereka juga memiliki koalisi partai sangat gemuk yang notabene partai besar. Dari 25 kursi di parlemen, sebanyak 19 kursi keterwakilan di DPRD yang mendukungnya. 6 kursi sisanya mendukung pasangan AST-Aris.

Beberapa hari yang lalu santer diberitakan rilis dari lembaga survei mengenai tingkat elektabilitas dua pasang calon. Penulis sendiri jujur suulit percaya akan foto-foto hasil survei lengkap dengan persentasenya yang diedar di medsos. Sebabnya, ada keyakinan kuat yang telah menjadi rahasia umum bahwa lembaga-lembaga survei banyak diperalat oleh pihak-pihak berkepentingan untuk merilis hasil survei sesuai keinginan pihak berkepentingan. Maka sejak bulan April 2020 lalu penulis mencoba melakukan survei sendiri terhadap semua golongan masyarakat di dua kecamatan terpadat, yakni Kecamatan Banggae dan Banggae Timur. Baik itu pemuda, milenial, pemilih pemula, pemilih perempuan, termasuk orang tua. Kebanyakan tidak memilih dengan menyebut nomor. Tapi menjawab dengan kata perubahan. Kalau mau dikonversi ke angka minimal 60% yang ingin perubahan.
Tapi penulis sendiri tidak bertanya lebih lanjut. Cukup dipahami dengan mengacu pada teori-teori psikologi bahwa sifat dasar manusia memang tak pernah merasa puas. Mudah bosan dengan tatanan yang ada. Selalu menginginkan pembaharuan.

Satu contoh kecil mungkin bisa jadi bukti. Meskipun seseorang mengatakan hobi saya adalah bermain sepakbola, tapi toh mereka tak pernah juga terus bermain sepakbola tanpa henti di luar waktu istirahat. Mereka pada akhirnya bosan dengan lingkungan serta kondisi yang itu-itu saja. Mereka juga senang minum kopi di warkop, suka nonton film, dan gemar melakukan percintaan dengan lawan jenis. Jangan heran kalau tidak sedikit orang yang berganti hobi dari olahraga ke seni atau sebaliknya. Karena itu memang sifat dasar manusia. Bosan dengan keadaan yang statis.

Akan tetapi semua masih merupakan kemungkinan sampai akhirnya tiba pada 9 Desember nanti. Mari kita nantikan bersama dan yang terpenting menjaga persaudaraan. Masyarakat harus semakin bijak menyikapi momen pilkada dengan memisahkan antara kepentingan politik dan dan kepentingan persaudaraan. Persaudaraan semutlaknya ditempatkan di atas dari segalanya.

Sebagian besar publik berpendapat bahwa money politic masih akan mewarnai pilkada nanti. Tak sedikit orang percaya bahwa politik uang sudah menjadi budaya kita.

Kedua kubu yakin bakal menang. Dan apabila sudah begini, kita tentunya berharap kontestasi yang fair agar rasa keadilan masyarakat tidak ternoda. Terkait dengan ini tentu masyarakat berharap pada para penyelenggara pemilu itu sendiri terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Kesimpulannya mayoritas pengamat menduga bahwa keinginan revolusioner masyarakat kali ini yang begitu ingin ganti pemimpin bakal terkabul. Namun seberapa inginnya mereka pemimpin baru, akan dibuktikan dengan loyalitas sampai 9 Desember 2020 kedepan.

Rekomendasi Berita

Back to top button