Mengulas Kisah Sumur Gempa Diusia 52 Tahun

Tanpa terasa usia sumur gempa telah berusia 52 tahun sejak munculnya di tahun 1969 silam sampai sekarang.

Oleh : Budi bento

Warga sekitar menyebutnya sumur gempa, sebab kemunculannya di akibatkan oleh bencana gempa bumi dan tsunami yang pernah mengguncang Kec. Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dan sekitarnya.

Sumur tua yang terletak di Dusun Lombongan Desa Tammeroddo Utara, Kecamatan Tammerodo Sendana tersebut nampak sudah mulai usang dan berlumut ditumbuhi pohon liar.

Menurut cerita warga setempat, bahwa tahun 1969 merupakan kategori bencana dahsyat sebab ketinggian tsunami pada waktu itu mencapai 5 – 6 meter menyapu daratan Pellattoang dan Tammeroddo sampai ratusan meter.

Pasca kejadian itu, ditemukan lah mata air ini oleh sejumlah pengungsi disekitar lokasi yang letaknya tak jauh dari jembatan dusun lombongan.

Salah seorang saksi mata yang menjadi korban bencana menyebutkan bahwa mata air tersebut awalnya di pasangi sebatang bambu kedalam mata air untuk memudahkan mengalir ke atas, akan tetapi tersumbat karena muncul mata air baru disekitarnya.

Melihat potensi mata air agar dapat di manfaatkan, warga pun melakukan inisiatif dengan memasangkan sebuah drum bekas yang bertujuan agar aliran air bisa tertampung sementara waktu hingga dapat dimanfaatkan untuk mandi dan mencuci sampai beberapa bulan.

Itulah sebabnya mengapa sumur gempa, sangat unik kedengaran di telinga kita, namun dibalik itu, banyak kisah menarik yang telah dilewati.

Dari cerita warga, sumber air yang semula menggunakan drum bekas, akhirnya di pugar menjadi sebuah sumur menggunakan batu dan semen berbentuk segi empat.

Konon, tukang batu yang mengerjakan sumur gempa tersebut adalah seorang warga Jawa timur yang sempat bermukim di wilayah pellattoang saat itu.

warga setempat yang pernah membantu pemugaran sumur gempa hanya bisa mengenang kisah sang tukang. Mereka menyebut bahwa sosok arsitek sumur gempa sudah lama meninggal dunia.

Tujuan awal pemugaran agar sumber air dapat mengalir ke rumah penduduk karena alat pompa sejenis Alkon belum ada saat itu. Namun hasilnya kurang maksimal karena dikerja secara manual.

Penduduk sekitar cukup terbantu dengan adanya sumur gempa karena bisa digunakan untuk mandi dan mencuci namun hingga saat ini, sumur gempa itu tampak tidak terurus, bahkan tidak terjamah, seperti sebelumnya.

Harapan untuk pemangku kepentingan di daerah, agar dapat melestarikan situs sejarah sumur gempa menjadi lebih bernilai. Sebagaimana
Pesan Bung Karno bahwa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai sejarahnya.”

Apa yang terjadi di tahun 1969, merupakan salah satu bukti peristiwa masa silam yang harus di wakafkan kepada generasi ke generasi, khususnya pelaku sejarah di kabupaten Majene.

Waktu 52 tahun, cukup lama bagi generasi tua. Tetapi cukup sedikit bagi generasi muda jika indentitas sejarah tak mampu dilestarikan, walaupun akhirnya memilukan bagi pelaku sejarah.

Hari ini dan esok, akan kita tuliskan masa depan, dengan cerita masa lalu. kisah sumur gempa adalah cerita peradaban yang tak akan sirna oleh waktu Jika dapat dilestarikan dalam bentuk karya literasi dari generasi kontemporer menjadi generasi milenial.

Sampai kapan kah kisah ini akan berakhir, kita tunggu keberpihakan pemerintah terhadap sumur gempa.

Melupakan sejarah ibarat kapal yang hilang ke dasar lautan oleh peradaban. Artinya sejarah tak akan sirna ditelan waktu, atau zaman.**

Rekomendasi Berita

Back to top button