Perbandingan Penanganan Covid 19 di Vietnam dan Indonesia

Oleh : Widya Astuti

Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kota Palu – Sulteng – Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah – Jurusan Pemikiran Politik Islam

World Health Organization (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020. Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan berdampak pada kesehatan publik dan perekonomian global.

Selain itu, Covid-19 juga memiliki implikasi politik yang memaksa negara-negara di dunia untuk menyesuaikan kebijakannya. Hampir seluruh negara di dunia harus bergerak cepat untuk menerapkan langkah-langkah efektif agar terhindar dari krisis kesehatan, ekonomi, maupun politik.

Hal tersebut tentu menjadi ujian bagi kapasitas dan kualitas kepemimpinan pemerintahan baik di tingkat global, nasional, maupun lokal.

Di sisi lain, Covid-19 juga merupakan ujian bagi komitmen terhadap prinsip demokrasi, misalnya dalam menjamin penyampaian aspirasi di ruang publik dan memberi kebebasan bagi rakyat untuk terlibat dalam roda pemerintahan.

Pemerintah dibanyak negara dihadapkan pada situasi membingungkan saat wabah covid 19 muncul. Mereka dipaksa mengambil langkah-langkah strategis guna menangani dan merespon keadaan pandemi.

Masing-masing negara menunjukkan kesiapan yang berbeda-beda. Pandemi Covid 19 juga telah menunjukkan baik buruknya tata kelola dan kebijakan pemerintah suatu negara.
Pada awalnya pemerintah Indonesia menunjukkan kegagapan dan terjebak dalam penyangkalan atas tingkat urgensi maupun dampak covid 19 sebelum akhirnya mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menangani pandemi secara lebih sistematis. Namun sebagai warga negara khususnya di Indonesia, yang menjadi pelaksana kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah dan dapat merasakan langsung apakah kebijakan tersebut sudah baik dan sesuai dengan harapan atau Malah sebaliknya.

Kebijakan penanganan dampak dari Covid-19 perlu menyelaraskan antara kebijakan makro ekonomi dan kebijakan perlindungan sosial, manajemen perkotaan, komunikasi publik, pasar uang dan barang, serta perlindungan kesehatan.

Sinergi dari kebijakan – kebijakan tersebut dapat dilihat dalam respon Vietnam dan kebijakan mitigasi Covid-19. Sejak awal kemunculan kasus infeksi virus SARS-CoV-2 di Tiongkok, Vietnam sudah menganggap penyebaran virus tersebut sebagai sebuah masalah yang serius. Kebijakan yang diambil oleh Vietnam di awal penyebaran virus di dalam negeri menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan Vietnam.

Pada awal kasus Covid-19 merebak, Vietnam mengantisipasi warga negaranya untuk berhati-hati dan bersiap menghadapi skenario terburuk dari penyebaran virus tersebut. Vietnam mengambil tindakan yang lebih cepat dan lebih jauh dari saran WHO. Langkah penutupan penerbangan dari Wuhan dan penggunaan wajib masker sudah diberlakukan oleh pemerintah Vietnam bahkan sebelum WHO mengeluarkan rekomendasi.

Vietnam juga dengan cepat melakukan tes massal dan penelusuran kontak terhadap orang-orang yang dicurigai positif ataupun yang pernah berinteraksi dengan pasien positif Covid-19.

Vietnam memanfaatkan teknologi untuk memberikan informasi yang aktual kepada masyarakat. Pemerintah melalui sebuah aplikasi di ponsel menyediakan data mengenai kasus positif dan potensi paparan di kota-kota besar, yang diunduh sekitar 60% penduduk Vietnam.

Setelah melakukan lockdown dan kebijakan pengetatan, Vietnam akhirnya berhasil mencapai titik kasus 0 perhari. 23 April 2020 pemerintah mengakhiri masa lockdown dan mulai melonggarkan kebijakan social distancing.

Vietnam yang sudah berhasil menghentikan penyebaran virus di dalam negeri akhirnya mulai kembali memperbolehkan perjalanan domestik, aktivitas ekonomi, serta kegiatan belajar di sekolah dan universitas. Namun, pemerintah masih tetap menjalankan protokol kesehatan, dan larangan perjalanan internasional masih berlaku.

Pemerintah Vietnam tidak hanya mengambil kebijakan mitigasi untuk aspek kesehatan manusia, tetapi juga kebijakan untuk mencegah dampak ekonomi dari adanya pandemi ini.

Walaupun Vietnam berhasil mengendalikan jumlah kasus di dalam negeri, tidak berarti kondisi perekonomian juga dengan cepat dapat kembali ke kondisi normal. Tercatat sekitar 60% perusahaan mengalami kekurangan modal dan pengurangan arus kas.

Hampir 35.000 perusahaan Vietnam bangkrut sejak Januari hingga Maret 2020, menjadikan jumlah perusahaan yang tutup lebih tinggi dari jumlah perusahaan yang baru terdaftar sepanjang dekade.

Untuk meringankan dampak ekonomi bagi pelaku bisnis dan masyarakat, pemerintah Vietnam mengeluarkan Decree 41/2020/ND-CP (Decree 41) pada 8 April 2020. Dekrit tersebut berisi insentif-insentif yang diberikan pemerintah untuk beberapa sektor bisnis, seperti perikanan agroforestri, pengolahan makanan, pengolahan mekanik, furniture, konstruksi, transportasi, pendidikan dan pelatihan, real estate, layanan buruh dan tenaga kerja, agen perjalanan, operator tur, kegiatan hiburan, film, industri pendukung, kecil dan perusahaan menengah, serta perbankan.

Pemerintah mengalokasikan dana sebesar VND 27 triliun (US$ 1,6 miliar) untuk menjalankan insentif-insentif tersebut.
Sementara di Indonesia Banyaknya produk kebijakan yang terbit mengindikasikan pemerintah bekerja keras dalam penanganan bukan pencegahan pandemi.

Hal ini juga seolah menunjukkan pola koordinasi dan sinergi pemerintah baik secara gugus tugas ataupun tidak.

Banyak kalangan menyoroti hal ini, serta gaduhnya pemimpin daerah berkeluh kesah. Alternatif kebijakan yang diambil juga sangat kentara bagi publik bagaimana gamangnya pemerintah merespon masalah COVID 19.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi, pertama, pemerintah cenderung fokus pada informasi yang mendukung arah kebijakannya (confirmation bias) dan kurang menerima pandangan dari kejadian di negara lain.
Pandemi ini muncul diawal pemerintahan Jokowi jilid II disertai dengan perubahan struktur kabinet, sehingga memberi efek kejut bagi pemimpin baru setingkat kementerian dan badan yang sedang menata arah kebijakannya.

Kedua, pemerintah seringkali merasa menemukan ‘rahasia’ dalam sebuah informasi, lalu menciptakan cerita untuk menjelaskannya.
Namun dengan banyaknya kebijakan yang diambil pemerintah berbagai masalah yang lebih kompleks dan rumit masih ada di antaranya; pertama, Terbitnya Keppres No.7 tahun 2020 tentang gugus tugas percepatan penanganan corona virus disease 2019 (covid-19) pada (13/3) dan Keppres No.12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam, penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional pada (13/4) setelah banyak kasus yang terjadi menunjukkan belum ada roadmap nasional penanganan pandemi di Indonesia, terlebih pandemi CPVID 19, dan penanganan fenomena ini tidak ada dalam visi dan arah pembangunan.

Ketiga, Solusi dalam mengatasi COVID-19 masih dilihat dari 2 konteks yaitu: pertama, pengendalian penyebaran, dan pengendalian dampak. Solusi dalam pengendalian penyebaran seperti work from home, phisycal distancing, penyemprotan disinfektan, isolasi mandiri, memakai masker keluar rumah, himbauan cuci tangan, pembebasan NAPI, larangan mudik. Sementara solusi pengendalian dampak seperti perubahan struktur anggaran lembaga, pemberian listrik gratis, penangguhan pembayaran kredit, percepatan kartu pra-kerja, belum terdapat kajian lebih jauh derajat keberhasilannya. Namun Langkah yang diambil lebih baik daripada tidak berupaya.

Kepemimpinan yang kuat dalam situasi krisis sangat dibutuhkan untuk memberikan arah penanganan krisis yang jelas dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem yang dikembangkan untuk melewati masa krisis.

Dalam situasi krisis tidak semua pemimpin publik bisa menunjukkan kepemimpinan memadai, yang berakibat pada tergerusnya legitimasi kepemimpinan, bahkan bisa menyebabkan krisis kepercayaan terhadap sistem. Pengalaman Indonesia di awal mewabahnya Covid-19 menunjukkan salah satu beban terberat adalah politisasi pandemi di antara aktor-aktor kunci pemerintahan.**

Editor: Budibento

Rekomendasi Berita

Back to top button