Rasa Malu, Rinduku Tak Terbendung

Genap hampir dua tahun sudah, aku pergi tampa arah tujuan yang jelas. Semakin Aku menjauh, rinduku pun menggebu tak terbendung.

Seiring waktu berjalan, sang Surya terbit dari upuk Timur hingga tak teresa malam pun akhirnya tiba. Suara jengkrik bersahutan Jadi pelengkap di keheningan malam. Kabut pun mulai menyelimuti lereng gunung Saat jarum jam berada pada pukul 02 dini hari. Tidur pun tak bisa lelap.

Bayangmu tak lekang dari mataku, hingga tak terasa mata yang lelah ini pun menetes menahan rindu yang kian menyiksa bathin ini.

Melangkah jauh darimu sesungguhnya bukan karena ada rasa benci, namun aku dihadapkan dalam situasi sulit dan tak mampu berbuat apa-apa lagi.

Aku menyadari, mengenalmu sungguh sangat berarti dalam perjalanan hidupku semenjak aku memilih hijrah dari kota Palu ke Mamuju pada tahun 2009 silam.

Menetap di bumi Manakarra adalah pilihan tepat. Di kota Kecil ini Aku memiliki banyak sahabat. Termasuk kenal dekat bapak Anwar Adnan Saleh. Beliau merupakan sosok pemimpin yang aku kagumi atas beragam prestasinya membangun Sulbar dari titik nol. Bahkan aku pun menganggapnya beliau adalah panutan serta menjadi sosok yang begitu menginspirasi.

Sekuat-kuatnya aku bilang bahwa aku baik-baik saja, tetap saja aku rasanya perlu mengatakan sesuatu padanya, sesuatu yang aku ingin sekali kamu mengetahuinya. Tetapi, dengan cara apa aku bisa memulainya. Aku malu pada diriku yang terlanjur menjauh disaat ada mimpi besarmu untuk kembali membangun daerah ini.

Ya sudalah, Aku tak perlu larut untuk ikut menyesali atas kekeliruan Itu. Saya percaya, Tuhan telah menyiapkan segala rencana terindah untuk menata masa depan yang lebih indah lagi. Yang pasti, Aku akan mengenangmu sepanjang denyut nadiku berdetak. Walau aku telah jauh, namun lantunan doa dalam sujudku tak akan pernah terhenti terucap dibibir ini. Ya Allah, semoga engkau dalam lindingannya serta diberikan umur panjang, diberikan nikmat Kesehatan sehingga kelak tetap bersemangat untuk kemajuan daerah ini.

Hal yang tak pernah aku lupa adalah ketika kita makan malam bersama. Saat itu, beliau pesan jus mangga dingin. Bahkan jus Itu sempat beliau minum lalu aku ditawari untuk menghabisi sisa just Itu. Tanpa mikir, aku pun menggapai gelas lalu aku pun menikmati just yang ia sodorkan sembari bercerita tentang kondisi daerah. Sebuah pesan yang aku simpulkan bahwa beliau telah menganggap diriku adalah salah satu bahagian dari keluarga sendiri, walaupun sesungguhnya aku bukan siapa-siapa.

Memang selama kepergianku, maka aku tak bisa naif mengenai aku yang masih sangat merindukanmu. Namun disamping itu juga aku merasa takut denganmu, takut karena aku tegah hati membiarkan dirimu berjuang seorang diri.

Di saat-saat yang seperti itu, sebagai manusia biasa yang yakin dengan Tuhannya, aku telah berusaha melakukan berbagai hal bahkan perubahan dalam hidupku dan sekuat mungkin aku menyibukkan diri dalam hal-hal yang berbau positif.

Pada awalnya, kehidupan yang seperti itu sangat menyakitkan dan berat bagiku, bagaimana tidak, aku seakan akan harus seketika saat itu juga berubah jadi orang lain untuk mengubur lukaku, aku harus melupakan diriku bahkan apa yang telah kulakukan, tak ada cara lain yang kutemukan selain melakukan pilihanku tersebut.

Aku tetap berlari meski tali tambang mengikat kakiku erat, perih, kulitku robek karenanya, saat berlari saat-saat aku menahan luka, rasa sakitnya tak begitu terasa karena terkalahkan oleh angin semangat, keringat dan air mata yang menghempaskan kekeringan, darah yang memberi warna, dan kekuatan dari Allah SWT.

Meskipun begitu, aku hanyalah manusia biasa, sama seperti layaknya pekerja, mau segiat apapun dalam bekerja, akan tetap merasa lelah dan butuh sekedar rehat sejenak.

Begitupun aku, di sela-sela pelarianku dari luka, kakiku mengatakan rehat, dan apa? terlihat lebam bahkan setetes demi setetes darah keluar, tapi bukan hanya itu, semuanya rasanya sakit, begitu menyakitkan keadaan saat itu.

Akhirnya aku sampai pada titik dimana melihatmu atau mendengar namamu, aku merasa ingin memelukmu.

Seiring berjalannya waktu, aku sampai juga pada titik dimana aku merasakan kemerdekaan dari luka tersebut, aku mulai terbiasa dengan semuanya, kehidupanku tanpamu meski aku sangat butuh bimbinganmu agar kelak bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk masyarakat bangsa Dan negara.

Jujur, aku tak ingin kamu mengartikan semua sikapku ini sebagai bentuk kekanakan.

Bahkan aku menulis semua ini, aku hanya ingin berbagi cerita dan sekedar meringankan bebanku, aku juga akan bersyukur sekali jika kamu suatu saat sampai membaca ini, karena bagiku tidak ada lagi cara lain untuk menjelaskan ini semua padamu. Aku takut merasa bodoh lagi, dan aku takut mengganggu kehidupanmu.

Aku ingin berterima kasih sekali kepadamu atas semuanya, aku menganggap semua yang telah terjadi sebagai pelajaran berharga bagiku, ternyata tak selamanya luka itu ada jika kita mau berusaha.

Terima kasih telah pernah membuatku merasa tidak sendirian dalam berjuang, merasakan kasih sayang layaknya seperti kakak kandungku sendiri, dan terima kasih telah pernah membuatku merasa diriku layak dan bahwa aku bisa.

Alhamdulillah Allah masih memberiku nikmat sehingga aku segera dijauhkan dari hal-hal yang negative. Meski dengan luka, tapi Allah selalu ada untukku dan akupun berusaha agar aku selalu ada untuk Allahku sehingga aku bisa keluar dari semuanya. Perjuangan yang penuh pembelajaran hingga aku sadar bahwa, hidup telah mengajariku untuk tidak berharap pada apapun dan siapapun, cukup hanya kepada Tuhan.****

Oleh: Aco Antara

Tammajarra, Polman, 04 Desember 2019

Rekomendasi Berita

Back to top button