Darmansyah: Ada Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan, Baiknya Cari Aman Saja
Koreksi Judul Berita Sebelumnya
*Darmansyah: Ulama Mayoritas Tak Setuju Pemimpin Perempuan, Baiknya Cari Aman Saja
Majene – Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Drs.Darmansyah mengemukakan, selama ini dikalangan para Ulama di Indonesia terjadi perdebatan pandangan terkait perempuan menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala daerah.
” Perempuan menjadi pemimpin itu sesungguhnya telah menjadi perdebatan klasik dikalangan para ulama’, baik kepemimpinan dalam shalat, rumah tangga, menjadi hakim, pemimpin publik, maupun sebagai kepala negara (khalifah). Bagi saya, kita selaku masyarakat jauh lebih baik memilih yang aman yakni mencari pemimpin dari golongan Laki-Laki karena para Ulama tidak ada yang mempersoalkannya,” kata Darmansyah di Majene, Minggu, 18/10/2020.
Darmansyah yang juga budayawan Mandar Majene ini mengakui, jika para Ulama’ berbeda pendapat apakah perempuan boleh menjadi imam shalat atau tidak. Mayoritas ulama’ mengatakan tidak boleh sedangkan sebagaian ulama’ yang lain mengatakan boleh. Demikian pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami menjadi “qawwam”. Salah satu alasannya kan karena ia memberi nafaqah istrinya. Maka kalau suami tidak mampu memberikan nafaqah maka ia tidak lagi memilki “qiwamah” atas istrinya, sesuai dengan kaidah al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman.
Perdebatan yang lebih seru lagi tentu saja terjadi dalam kepemimpinan perempuan dalam wilayah publik, khususnya perempuan sebagai kepala daerah. Lalu apa dalil masing-masing yang membolehkan dan yang melarang? Bagi yang melarang perempuan jadi pemimpin publik diantarnya hadits nabi dari Abu Bakrah beliau berkata,
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” — (HR. Bukhari no. 4425)
Juga beberapa ayat al-quran, diantaranya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” — (QS. An Nisaa’ : 34)
Para ulama mufassir menjelaskan maksud ayat diatas. Diantaranya, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim mengatakan mengenai ’ar rijaalu qowwamuna ’alan nisaa’, maksudnya adalah laki-laki adalah pemimpin wanita. (Ad Darul Mantsur, Jalaluddin As Suyuthi). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Selama ini kata Darmansyah bahwa penolakan beberapa kalangan terhadap kepemimpinan politik perempuan dirujuk pada teks ayat-ayat Alquran dan beberapa hadis Nabi Muhammad. Hadis Rasulullah yang sering dijadikan landasan kuat penolakan tersebut, misalnya, bahwa “Tidak berjaya sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan”.***
Penulis: Aco Antara/Santrinews