Kolaborasi Wujudkan “ZERO ATS” di Sulawesi Barat


Mamuju –  Selain tingginya perkawinan anak, stunting, dan kemiskinan ekstrem, anak tidak sekolah (ATS) menjadi salah satu masalah utama pembangunan di Sulawesi Barat. 

tahun 2021, ATS berdasarkan hasil Susenas berada pada 10,52% (BPS, 2021). Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK21) yang dilaksanakan oleh BKKBN juga merilis bahwa jumlah ATS di Sulawesi Barat sebesar 48.105 orang.

Untuk menangani kondisi tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah telah melakukan berbagai macam upaya dengan
mengajak seluruh pihak terkait untuk berkolaborasi, bergerak bersama untuk mewujudkan impian “zero ATS”.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah, Dr. H. Mithhar, M.Pd. mengajak seluruh elemen unit kerja di lingkungan dinas untuk saling berjibaku mengentaskan ATS, termasuk melibatkan Kepala Sekolah, guru, dan pengawas sekolah ikut serta mengedukasi masyarakat di sekitar lingkungan sekolah tentang perlunya membangun kepedulian seluruh pihak, termasuk orang tua, dalam mewujudkan keluarga yang tanpa ATS.

Secara eksternal, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah sebagai Koordinator Penanganan ATS dalam Satuan Tugas yang telah dibentuk oleh Gubernur Sulawesi Barat, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH., telah berkoordinasi dengan dengan berbagai pihak untuk penanganan ATS, antara lain dengan Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa, TNI,
POLRI, Pegiat Literasi, serta unsur media. Koordinasi yang dibangun untuk menjalin sinergi dan kolaborasi terhadap upaya bersama dalam penanganan ATS di Sulawesi Barat.

Rekonfirmasi data yang telah dilakukan sejauh ini, menemukan beberapa faktor yang menjadi penyebab ATS, diantaranya karena faktor ekonomi, perkawinan anak, faktor lingkungan sosial, akses layanan pendidikan yang jauh, serta tidak sedikit yang disebabkan anaknya berkebutuhan khusus atau difabel. Selain karena faktor lingkungan sosial, faktor ekonomi masih menjadi faktor penyebab dominan bagi anak tidak sekolah. Gejala lain yang menarik, anak yang sudah bekerja mendapatkan upah dan anak yang telah menikah menjadi alasan anak tersebut tidak lagi ingin kembali bersekolah, meski sudah dibujuk sedemikian rupa.

Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi Pemerintah Sulawesi Barat dalam mengejar target zero anak tidak sekolah.

Rata-rata anak enggan sekolah karena dorongan ekonomi maupun kemampuan pribadinya. Kasus yang juga banyak ditemukan, awalnya anak bekerja demi membantu perekonomian orang tuanya. Namun lama-kelamaan banyak yang terjebak sebagai pekerja permanen.

Padahal, pendidikan sangat penting bagi keberlangsungan hidup anak. Bukan sekadar mendapatkan ijazah yang tinggi, namun juga membentuk pendidikan dan pengetahun anak
sebelum terjun ke masyarakat. Kasus anak putus sekolah sering ditemui pada lingkungan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Terdampak faktor kemiskinan dan rendahnya pola
pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

 

Untuk mempercepat mewujudkan zero anak tidak sekolah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Provinsi Sulawesi Barat bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten akan
memberikan fasilitas pelayanan terbaik. Bagi anak usia 7-18 tahun, sedapat mungkin dapat difasilitasi untuk kembali ke sekolah formal sesuai dengan jenjang pendidikannya. Namun bagi anak yang usianya sudah jauh melampaui jenjang pendidikannya atau anaknya merasa malu untuk kembali ke sekolah formal, maka akan diarahkan untuk mengenyam pendidikan nonformal (Pendidikan Kegiatan Belajar Masyarakat atau Sanggar Kegiatan Belajar).

Salah satu Kepala Desa yang cukup aktif melakukan penanganan ATS di wilayahnya adalah Burhanuddin, Kepala Desa Adolang Dhua, berada di Kecamatan Pamboang Kabupaten
Majene. Pada tahun 2021, jumlah ATS di desa tersebut sebesar 24 orang. Namun berkat kegigihan dan kerja keras bersama aparatur desa dan masyarakatnya, desa Adolang Dhua kini bebas ATS atau tanpa ATS.
Kepala Desa Adolang Dhua terus menghimbau kepada masyarakatnya, jika ada anak yang berpotensi putus sekolah atau mengalami kendala dalam mengakses layanan pendidikan, agar segera melaporkannya ke aparatur desa atau langsung ke Kepala Desa. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kondisi desa tersebut yang saat ini telah berstatus “Zero ATS”.***

Editor Redaksi

Rekomendasi Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button